Tempat Sampah

Akhir-akhir ini marak informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sampah. Yang terbaru adalah berita mengenai makanan sisa yang sudah dibuang ke tempat sampah yang kemudian oleh beberapa orang diolah kembali dan kemudian diperjual-belikan.
Saya sebelumnya menulis mengenai bagaimana sebenarnya manusia sama saja. Selalu ada hasrat untuk merasakan sesuatu yang nikmat dan enak dan kalaupun harus menikmati sesuatu yang tidak menyenangkan adalah karena keterpaksaan adanya.
Yang membedakan dalam mengakomodasi hasrat atas kenikmatan mungkin hanyalah kondisi sosial ekonomi karena nikmat dan enak umumnya bersinggungan dengan kondisi pada saat menikmati, strata sosial serta keadaan ekonomi.
Nikmat dan enak identik dengan mahal, namun kadang hal yang murah dan remeh akan jadi sangat nikmat ketika kita benar-benar membutuhkannya. Dan kadar nikmat bagi pejabat tentu saja beda dengan pemulung.
Boleh saja seorang pejabat tidak lagi merasakan nikmat ketika mengkonsumsi daging yang masih segar dan mahal yang kemudian diolah menjadi hidangan yang mengundang selera karena sudah sangat terbiasa, namun bagi pemulung sampah hal tersebut bisa jadi adalah “surga yang turun ke bumi”
Melihat orang miskin makan makanan sampah bagi pejabat mungkin adalah hal yang biasa karena bisa jadi menurut mereka siapa suruh menjadi orang miskin. Dan bagi orang miskin mungkin akan sangat mengejutkan menyadari bahwa mereka harus mati di lumbung padi. Suatu keadaan yang sungguh nyeri tiada terperi.
Dalam cakupan yang lebih luas mengenai sampah, sebenarnya disadari atau tidak, kita semua hidup di tempat sampah yang maha besar yang dikenal dengan nama dunia. Kaya atau miskin serta pintar atau bodoh, semuanya bergelut dalam tumpukan dan kubangan sampah.
Setiap hari, setiap jam, menit dan detik yang kita hadapi dan kita upayakan tiada lebih dari hanya mengais-ais sampah, memindahkannya kesana kemari serta saling berkelahi bahkan membunuh karena sampah.
Bukankah tempat atau rumah manusia seharusnya di surga sebagaimana manusia pertama ditempatkan dan dicukupkan segala kebutuhannya. Dan dunia adalah tempat dimana manusia kemudian dibuang oleh Tuhan karena kesalahan yang dibuatnya dengan tujuan untuk melakukan koreksi atas kesalahan untuk kemudian bisa pulang ke tempat dimana seharusnya manusia berada.
Tanpa kenal lelah, Tuhan terus mengupayakan dan mengusahakan berbagai cara supaya manusia bisa menemukan jalan untuk pulang. Berbagai petunjuk disebar, contoh-contoh diciptakan, bahkan tutorialpun diberikan oleh Tuhan supaya kita dapat mengikuti untuk kemudian dapat pulang ke rumah, namun tampaknya kita ini benar-benar bebal dan bodoh.
Begitu cintanya kita kepada tempat sampah sehingga kita melupakan rumah yang seharusnya kita tempati. Kita menganggap bahwa tempat sampah ini adalah tempat terindah yang bisa ditempati dengan bau terwangi.
Sama seperti ketika kita melihat saudara-saudara kita yang makan makanan sampah, semuanya di dunia juga hanyalah sampah. Dan ketika kita merasa jijik dan kasihan karena ada yang mengkonsumsi makanan sampah, lalu bagaimana dengan kita.
Kita tampaknya lebih harus dikasihani daripada saudara-saudara yang mengkonsumsi makanan sampah tersebut, karena mereka tampaknya tidak harus saling berebut dan membunuh untuk hanya sekedar sampah.